ASSALAMUALAIKUM WR WB, MARHABAN !!! KAMI HADIR UNTUK MENYAMPAIKAN AMANAH AGAMA, SEMOGA ALLAH MERIDHAI-NYA !!! SEMOGA SEKALIAN MANUSIA DAPAT MENGAMBIL MANFAAT-NYA,AMIN...YA RABBAL A'LAMIN
BANTULAH AGAMA ALLAH, NISCAYA DIA AKAN MENGOKOHKAN KEDUDUKAN MU DI MUKA BUMI
SEBAIK - BAIK KAMU IALAH YANG BANYAK MANFAAT BAGI ORANG LAIN

Senin, 12 September 2016

Risalah Kurban Idul Adha

Risalah Kurban di Idul Adha..

Lbm.Mudi- Kurban dalam bahasa arab disebut Udhiyyah, yaitu sebutan kepada hewan yang akan dikurbankan. Kurban disyariatkan pada tahun ke dua hijriah sama seperti Idul Adha, zakat harta dan Fitrah. Penamaan Udhiyyah diambil dari awal waktu pelaksanaannya yaitu saat waktu Dhuha. Kurban atau Udhiyyah adalah nama hewan yang disembelih pada hari raya atau hari Tasyrik (hari ke 11, 12, dan 13 Zulhijjah dan diharamkan puasa) karena untuk mendekatkan diri kepada Allah swt (Taqarrub), jika tidak dimaksudkan untuk Taqarrub kepada Allah, tetapi hanya untuk di makan misalnya, maka tidak digolongkan sebagai kurban walau dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik. Hukum berkurban adalah sunat Muakad dan Kifayah bagi satu rumah, maksudnya saat telah dikerjakan oleh seseorang dari satu keluarga yang nafakahnya dibawah tanggungan orang yang sama, baik dikerjakan oleh orang yang memberi nafakah atau yang diberi nafakah, maka gugurlah tuntutan pengerjaannya kepada anggota keluarga lain. Gugur tuntutan di sini adalah hilang hukum makruh bagi mereka semua, karena makruh hukmunya jika tidak ada satu orangpun yang mengerjakannya. Sedangkan pahalanya khusus kepada orang yang berkurban, Ketentuan kurban sunat kifayah jika dalam satu keluarga tersebut ada beberapa orang, adapun jika dalam rumah tersebut hanya ada satu orang maka hukumnya sunat Ain kepada orang tersebut. Hukum sunat berkurban berlaku bagi umat nabi saw, kepada beliau sendiri hukumnya wajib dan itupun sekali. Maksdunya, kewajiban berkurban kepada nabi saw hanya sekali seumur hidup, selebihnya adalah kurban sunat. Maka, hadis yang menyatakan nabi memakan hewan kurbannya dihamalkan kepada kurban sunat bukan wajib. Kurban disunatkan kepada setiap orang islam yang telah taklif, merdeka dan Rasyid (terpelihara agama dan harta) dan tentunya mampu, juga disunatkan kepada hamba sahaya yang berstatus Mub’ad (hamba sahaya yang telah merdeka setengah) jika memang memiliki harta dengan statusnya yang setengah merdekanya.

Hukum sunat Muakad berlaku bagi semua orang, terutama bagi yang mampu untuk berkurban. Jika mereka mampu dan tidak berkurban, makruh hukumnya, adapun orang yang tidak mampu tetap disuntkan berkurban, hanya saja saat mereka tidak mengerjakannya, maka tidak dihukumi kepada makruh. Orang mampu adalah orang yang punya harta melebihi keperluan untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahinya mulai hari idul adha hingga berakhirnya hari Tasyrik. Kebutuhan yang dimaksudkan di sini mencakup kepada nafakah, pakaian dan keperluan-keperluan pokok lainnya. Sama seperti kewajiban mengeluarkan zakat fitrah, yaitu jika seseorang punya harta melebihi kebutuhannya sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahinya, mulai malam hari raya hingga esok harinya. Kewajiban zakat fitrah hanya malam dan hari raya, maka harta lebih yang dijadikan pijakan adalah melebihi malam dan hari raya saja. Begitu juga kurban, kesunahannya mulai hari raya sampai hari Tasyrik ke tiga, maka harta lebih yang dijadikan pijakan adalah harta yang lebih dari empat hari tersebut. Ibnu hajar Al-Haitami berpendapat jika batasan kesanggupan seseorang berkurban adalah harta yang melebihi malam dan hari raya saja bukan sampai tiga hari Tasyrik, menurut beliau karena kurban merupakan bagian dari sedekah Tatawu’(sedekah sunat) sehingga sama ketentuannya seperti sedekah Tatawu’ pada umumnya yaitu disunatkan bersedekah jika mempunyai harta lebih dari keperluan sehari dan semalam. Kurban adalah sebaik-baik harta Tatawu’. Kesunahan berkurban berlaku bagi semua orang, baik orang pedalaman, perkotaan, orang yang mukim, musafir juga berlaku kepada orang yang berhaji, karena nabi saw pernah berkurban untuk istri-istrinya saat tengah berhaji, sebagaimana dalam satu hadis yang telah merawi oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Binatang yang Dijadikan Kurban
Binatang yang sah dijadikan sebagai kurban adalah dari golongan unta, sapi dan kambing atau kebiri. Ditambah lagi, unta tersebut sudah harus yang berumur genap lima tahun dan masuk tahun ke enam, sapi dan kambing harus berumur genap dua tahun dan masuk masuk tahun ke tiga, sedangkan biri-biri dibolehkan yang baru berumur genap satu tahun dan masuk tahun ke dua. Kesemuanya, tidak ada dibedakan antara yang berjenis kelamin jantan atau betina, dan baik yang telah dikebiri atau tidak. Dan juga tidak boleh ada cacat yang tidak ditoleransi syara’, seperti buta yang nyata. Satu unta atau sapi cukup untuk tujuh orang, sedangkan satu kambing atau biri-biri hanya mencukupi satu orang saja. Hewan yang lahir dari perkawinan sapi dan unta hanya memada untuk satu orang saja, sama seperti hewan yang lahir dari kambing dan biri-biri. Tujuh orang tersebut apakah dalam satu rumah atau tidak. Setiap dari mereka harus menyedekahkan daging kurban tersebut kepada fakir miskin.

Sebagaimana yang telah disebutkan, saat dikerjkan oleh osalah seorang dari anggota keluarga, maka gugurlah hukum makruh pada anggota keluarga lain, maksud anggota keluarga di sini adalah yang wajib menafkahi atau dinafkahi. Adapun pahala maka terkhusus kepada orang yang berkurban. Di antara beberapa jenis hewan yang dijadikan kurban, yang paling baik (banyak pahala) adalah unta, berturut-turut kemudian sapi, biri-biri dan kambing. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, memadalah untuk berkurban dengan menumpahkan darah hewan pada hari raya Idul Adha, sehingga beliau membolehkan untuk berkurban dengan seekor ayam atau angsa. Imam Syarkawi menegaskan tidak boleh bagi kita untuk Taklid atau berpegang kepada pendapat beliau, karena tidak ada yang membukukan mazhab tersebut, karena bisa jadi ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum berkurban dengan ayam atau angsa. Namun demikian, Syaikhuna dalam kitab Hasyiyah bajuri membolehkan fakir miskin untuk beramal dan Taklid kepada mazhab Ibnu Abbas, sama halnya dengan Aqiqah, beliau membolehkan fakir miskin untuk ber-Aqiqah dengan ayam ataupun angsa karena keterbatasan ekonomi yang dimiliki oleh fakir miskin.

Hal-hal yang sunat dilakukan saat Berkurban
Sebagian dari hal-hal yang paling disunatkan kepada orang yang berkurban adalah supaya hewan tersebut disembelih sendiri jika ia mampu, atau diwakilkan kepada orang lain walaupun orang yang berkurban tersebut belum baligh segaimana yang dilakukan oleh rasulullah saw. Sedangkan bagi perempuan dan Khunsa, maka disunatkan untuk mewakilkan sembelihan kepada orang lain. Jika ia mewakilkan kepada orang lain, maka disunatkan baginya untuk hadir saat peristiwa penyembelihan itu terjadi. Dengan demikian, jika orang yang berkurban buta, maka tetap disunatkan untuk hadir walaupun tidak bisa melihat. Mewakilkan sembelihan kepada kafir, anak kecil dan orang buta sah hukumnya tetapi makruh.

Hal sunat lainnya adalah supaya orang yang berkurban tidak menghilangkan bulu, kuku dan lainnya saat hendak berkurban terhitung sejak hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah) hingga saat pelaksaan kurban walaupun hari itu adalah hari jumat. Hikmahnya, supaya pengampunan dosa dari Allah swt dan merdeka dari api neraka juga mencakup kepada kuku dan rambut yang tidak dipotong tadi.

Tujuh ekor kambing untuk tujuh orang adalah lebih baik daripada se ekor unta atau sapi yang juga untuk tujuh orang, karena lebih banyak tumpahan darah dari banyak nyawa. Dan satu kambing yang disembelih sendiri lebih baik dari pada bergabung dengan orang lain pada se ekor unta. Satu ekor unta untuk enam orang ke bawah lebih baik dari satu ekor unta untuk tujuh orang. Satu kambing yang harganya lebih mahal dari dua kambing adalah lebih utama dan baik. Daging hewan kurban lebih baik dari lemak, hewan yang lebih tua lebih baik dari lainnya. Dalam berkurban pemilihan warna hewan kurban juga dipertimbangkan, warna binatang terbaik secara berturut-turut yang dijadikan kurban adalah putih, kuning, kemudian yang berwarna seperti debu, kemudian yang berwarna belang, merah dan terakhir hitam. Ada beberapa alasan kenapa warna hewan juga menjadi pertimbangan, yang paling kuat adalah karena Ta’abbud, ada juga yang mengatakan pemilihan warna penting karena bagus pandangan orang yang melihat dan alasan terakhir adalah karena dagingya lebih bagus. Binatang yang sedang mengandung juga tidak boleh dijadikan sebagai kurban, karena maksud kurban adalah dagingnya sedangkan hewan yang sedang mengandung dagingya kurang, berbeda dengan mengeluarkan zakat, karena maksud dari zakat adalah keturunan. Namun, Ibnu Ruf’ah membolehkan berkurban dengan hewan yang hamil karena kekurangan dagingnya akan ditutupi oleh janin.

Hal lainnya yang disunatkan dalam berkurban adalah membaca Basmallah saat hendak menyembelih, membaca shalawat kepada nabi saw, menghadap kiblat, takbir tiga kali sebelum dan sesudah penyembelihan, dan terakhir berdoa supaya diterima, misalnya berdoa: “ Ya Allah ya tuhanku, ini kurban dari engkau dan kepada engkau pula, maka terima olehmu”.

Memakan daging Kurban
Bagi orang yang berkurban (Tabarru’, bukan nazar) dibolehkan untuk memakan daging kurbannya sendiri, dan boleh memberi makan orang kaya tapi tidak memilikkannya. Berbeda dengan orang miskin maka boleh untuk memiliki daging kurban tersebut, sehingga boleh dibawa kemana saja termasuk dijual. Daging kurban yang boleh dimakan oleh pemiliknya adalah sepertiga dari keseluhannya, sedangkan dua pertiga lainnya disedakahkan bagi orang lain, baik kepada orang miskin atau orang kaya. Ada yang berpendapat, orang berkurban boleh untuk memakan setengah dari daging kurban tersebut. Satu pendapat lainnya adalah, orang yang berkurban mengambil sepertiga, disedekahkan sepertiga kepada fakir miskin dan dihadiahkan sepertiga lainnya kepada orang kaya.
Dari ke tiga pendapat tersebut, mereka sepakat untuk membagikan daging kurban. Lalu bagaimanakah sebenarnya status daging kurban tersebut? Apakah wajib disedekahkan kepada fakir miskin sebagaimana pendapat di atas. Pendapat kuat untuk sah sebagai kurban, maka wajib disedekahkan minimalnya kadar ukuran yang dinamakan daging pada ‘uruf, tidak boleh kulit, telinga atau lainnya. Dan boleh untuk disedekahkan kepada satu orang miskin saja dan kondisi daging kurban tersebut harus mentah tidak boleh dimasak. Memasak daging kurban kemudian baru di sedekahkan memang dibolehkan, tapi tidak boleh semuanya harus tetap ada daging kurban yang di sedekahkan dalam kondisi mentah. Pendapat ke dua memebolehkan untuk memakan semua daging kurban tanpa bersedekah sedikitpun, orang tersebut tetap mendapat pahala karena telah menyembelih dan mengalirkan darah kurban di hari Idul Adha dengan niat Taqarrub kepada Allah swt.

Yang paling Baik (Afdhal) adalah menyedekahkan semua daging kurban tersebut, kecuali satu suapan yang diambil berkah dengan memakannya, dan demikian merupakan sunnah nabi saw. Bagian yang paling baik untuk dimakan adalah hatinya, karena mengikut nabi saw, dalam hadis disebutkan jika nabi memakan hati hewan yang dikurbankannya. Hikmahknya adalah untuk Tafaul dengan hati hewan kurban tersebut, berdoa agar Allah memasukkan orang yang berkurban ke dalam surga dan mendapat penghormatan dari Allah swt, karena warid dalam satu hadis jika penghormatan pertama kali Allah swt kepada ahli surga adalah dengan hidangan hati ikan paus yang menanggung bumi (seperti yang diceritakan dalam satu hadis bahwa bumi berada di atas punggung ikan paus). Adapun kulit dari hewan kurban tersebut maka juga disedekahkan atau diambil manfaat untuk dirinya sendiri atau dipinjamkan kepada orang lain, yang tidak boleh adalah menjual atau menyewakannya.

Permasalahan Kurban Nazar
Kurban yang dinazarkan tidak boleh di makan oleh orang yang bernazar, tetapi harus di sedekahkan semua termasuk kulit dan tulangnya, berbeda dengan kurban Taqarrub yang memebolehkan si pemilik untuk memanfaatkan sendiri tulang dan kulit tersebut. Kurban yang di nazar tidak boleh ditunda-tunda penyembelihannya dengan tanpa ozor, sehingga jika dilakukan dan ternyata hilang maka wajib menggantinya. Jika ada ozor maka boleh ditunda, seperti tidak adanya fakir-miskin pada hari itu. Kurban wajib seperti misalnya seseorang berkata,:” lazim atasku berkurban dengan satu kambing”. Jika seseorang berkata “ini adalah kurbanku” , maka binatang tersebut telah menjadi kurban wajib, walaupun ia tidak meniatkan kurban. Dan jika ia meniatkan saja tanpa mengucapkan, maka juga tidak menjadi kurban wajib. Perkataan “ini adalah kurban ku” menjadi wajib/nazar jika tidak diniatkan mengabarkan kepada orang lain, adapun jika diniatkan untuk memberitahu orang lain, maka tidak menjadi wajib. Sedangakan menurut Ibnu Hajar dan Imam Ramli tidak seperti demikian, maksudnya perkataan tersebut tetap menjadi kurban wajib sekalipun dia meniatkan untuk memberi tahu orang lain. kasus ini banyak terjadi di kalangan orang awam, yang ketika ditanyakan kepadanya,:” ini apa?”. Maka dijawab :” ini aku simpan untuk kurban”. Maka dengan ini dia telah bernazar dengan kurban.

Berkurban Untuk Orang lain
Tidak boleh berkurban untuk orang lain yang masih hidup dengan tanpa izinnya dan tidak untuk orang yang sudah meninggal jika tidak diwasiatkan kecuali kurban wali dari hartanya sendiri untuk orang-orang yang berada dibawah tanggungannya, maka ini hukumnya sah. Pengecualian lain adalah kurban dari seorang imam dari harta baitil mal untuk kaum muslimin. Adapun dengan adanya izin, maka boleh hukumnya. Kenapa demikian? Karena kurban adalah ibadah, maka tidak boleh tanpa disertai dengan dalil. Berbeda dengan membayar utang orang lain yang tetap akan sah walaupun tanpa izin. Wallahua’alam.

Daftar Pustaka
1. Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin
2. Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah
3. An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin
4. Khatib Syarbaini, Mughni Muhtaj,
5. Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury
6. Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj
7. Muhammad nawawi al-banteni, Tsamarul Yani’ah.

Kamis, 08 September 2016

Salat Idul Adha dan Hal yang Berkaitan Dengannya

Salat Idul Adha dan Hal yang Berkaitan Dengannya..

sumber Lbm.Mudi- Salat hari raya Idul Fitri (dalam bahasa Arab Aidil Fitri dan Aidil Adha) dan Idul Adha merupakan salah satu Khususiyat umat nabi Muahmmad saw sama seperti salat minta hujan (Istisqa’) dan salat dua gerhana matahari dan bulan (Kusufain). Maksudnya salat ini hanya disyariatkan kepada nabi Muhammad saw dan umatnya, tidak disyariatkan kepada nabi-nabi sebelum beliau. Salat dua hari raya disyariatkan pada tahun ke dua hijriah. Hukum salat keduanya adalah Sunat Muakad walau kepada orang yang tidak wajib jumat, ada juga sebagian kecil ulama yang berpendapat jika salat ini adalah Fardhu Kifayah mengingat salat ini merupakan sebagian dari syiar islam, sehingga berdasarkan pendapat kedua mereka semua dibunuh jika tidak ada satu orang pun dari satu balad (kecamatan) yang mengerjakannya, namun pendapat yang kuat adalah Sunat muakad karena nabi selalu rutin mengerjakannya. Salat Idul Adha sendiri lebih baik/Afdhal dari salat Idul fitri, karena kesunahan salat Idul Adha sebut dengan ayat Alquran yaitu surat Kausar ayat 2, berbeda dengan salat Idul fitri yang tidak sebut dengan ayat Alquran.

Kata-kata Idul Adha berasal dari kata Aidil, artinya kembali dan Adha/Udhiyyah (berkurban), jadi maknanya adalah kembali berkurban. Alasan hari raya ini dinamakan dengan Aidil Adha adalah karena hari raya ini kembali setiap tahun atau karena kembalinya Allah swt kepada hambanya dengan pengamnpunan. Karena demikian ada yang mengatakan :” hari raya bukan untuk orang-orang yang punya pakaian baru, tetapi bagi orang yang bertambah taat. Hari raya juga bukan bagi orang yang memperelok pakain dan kendaraan baru, tetapi hari raya adalah bagi orang yang mendapat pengampunan dosa dari Allah swt”.

Allah swt menjadikan hari raya di dunia dua kali dalam setahun, keduanya setelah beribadah. Jika Aidil Fitri sesudah berpuasa sebulan penuh, maka Aidil Adha sesudah mengerjakan haji (Wukuf di Arafah, karena Wukuf di Arafah adalah rukun Haji terbesar), sedangkan hari raya mingguan adalah hari Jumat. Adapun hari raya umat islam dalam surga kelak adalah saat berjumpa dengan Allah swt, yang merupakan sebesar-besar dan selezat-lezat nikmat yang pernah ada.

Salat Aidil Adha disyariatkan berjamaah, tetapi juga boleh dikerjakan sendirian. Salat ini juga disunatkan bagi perempuan (kecuali perempuan yang cantik dan punya fisik yang bagus, maka tidak disunatkan untuk hadir ke Masjid atau lapangan tetapi disunatkan untuk mengerjakan sendirian), hamba sahaya dan Musafir, tetapi jika dikerjakan sendirian maka tidak disunatkan membaca dua khutbah. Kaum perempuan yang diimamkan oleh laki-laki, maka juga disunatkan membaca rukun khutbah. Tetapi jika imam mereka perempuan, maka tidak boleh membaca rukun dua khutbah, dan jika ada salah seorang dari mereka yang ingin memberi nasehat maka tidak mengapa selama tidak membaca rukun dua khutbah. Pengecualian bagi orang yang sedang berhaji di Mina, maka tidak disunatkan berjamaah, tapi disunatkan untuk dikerjakan sendirian.

Waktu pengerjaan salat Aidil Adha adalah mulai terbit matahari sampai masuk waktu salat dhuhur. Dan waktu yang afdhal mengerjakannya adalah menunggu sampai matahari kadar segalah sebagaimana yang telah dikerjakan oleh nabi saw. Disunatkan orang selain imam untuk datang secepat dan sepagi mungkin, adapun imam maka disunatkan untuk hadir saat akan mengerjakan salat. Pada salat Idul Adha, sebaiknya saat imam hadir untuk disegerakan salat supaya luas waktu untuk melakukan Udhiyyah (kurban), sedangkan pada salat Idul Fitri maka agak sedikit di telatkan salat saat Imam hadir supaya tersisa waktu bersedekah sebelum salat.

Metode Pengerjaan Salat Idul Adha
Salat Idul Adha dikerjakan dua rakaat dengan niat salat sunat Idul Adha, sesudah Takbiratul Ihram, kemudian membaca doa Iftitah dan dilanjutkan dengan takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat ke dua, sebagaimana sabda nabi saw dari Imam Turmidzi yaitu :” sesungguhnya nabi saw mentakbir sebelum membaca surat Al-fatihah pada dua hari raya dengan tujuh takbir pada rakaat pertama dan lima takbir pada rakaat ke dua”. Di antara celah-celah setiap takbir disunatkan untuk bertahlil, bertakbir dan bertahmid, panjangnya kadar ayat mu’tadil (pertengahan) yaitu kadar membaca surat Ikhlas. Bacaan paling bagus adalah: Subhanallah, Walhamdulillah, Walailahaillah Wallahuakbar. Zikir ini lebih baik dari zikir lainnya, dan membaca zikir lebih baik dari pada diam. Setelah takbir terakhir maka langsung membca surat Al-fatihah. Zikir ini dibaca di celah-celah takbir, tidak sebelum dan sesudah takbir karena maksudnya adalah untuk menyelangi tiap-tiap takbir supaya tidak beriringan, dan makruh jika tidak membacanya. Pada rakaat kedua membaca takbir lima kali juga sebelum Qiraah ditambah dengan mengangkat tangan setentang bahu. Hukum membaca takbir itu sendiri adalah sunat, tetapi bukan sunat Ab’ad yang jika ditinggal disunatkan sujud sahwi. Jika lupa dibaca dan telah masuk kepada Qiraah Fatihah maka tidak boleh mengulang lagi, karena telah masuk kepada rukun, kecuali baru membaca Ta’awwuz, maka tidak mengapa jika mengulang takbir. Dan jika kembali kepada takbir sesudah membaca Fatihah, maka batal salat tersebut. Seseorang yang ragu pada bilangan takbir, maka hendak mengambil yang sedikit. Misalnya, jika ia ragu apakah takbir tiga atau empat maka dia mengambil tiga. Sesudah membaca Fatihah, Ayat yang dibaca pada rakaat pertama adalah surat Qaaf pada rakaat pertama dan surat Qamar/ Iqtarabat pada rakaat kedua sebagimana yang meriwayatkan oleh Imam Muslim. Pada satu riwayat lain dari Nu’man Ibnu Basyir juga disunatkan untuk membaca surat Al-A’la pada rakaat pertama dan AL-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Imam Qulyubi menambahkan surat Al-Ikhlas jika tidak membaca surat Al-Ghasyiyah. Semuanya dilakukan dengan cara Jihar (bersuara nyaring).

Membaca Rukun Dua Khutbah
Sesudah salat dua rakaat idul Adha, maka disunatkan membaca rukun dua khutbah sama seperti rukun dua khutbah pada jumat, kecuali pada bilangan orang yang mendengarnya. Hukum membaca rukun dua khutbah menjadi wajib jika dinazarkan. Ini berdasarkan riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar bahwa “sesungguhnya nabi saw, Abu Bakar dan Umar melakukan salat idul fitri dan Adha sebelum khutbah”. Pengulangan khutbah dua kali karena diqiyaskan kepada khutbah jumat, karena tidak sebut hadis terhadap masalah tersebut. Imam Nawawi dalam kitab Raudah menambahkan, jika didahulukan khutbah sebelum salat maka tidak dihitungkan sebagai khutbah hari raya sehingga tidak mendapatkan pahala walaupun telah dikerjakan, sama seperti salat sunat rawatib sesudah salat fardhu yang didahulukan sebelum salat fardhu. Rukun dua khutbah hari raya sama dengan rukun khutbah jumat, yaitu membaca Hamdallah, shalawat kepada nabi saw, wasiat dengan takwa, ketiganya dilakukan pada ke dua khutbah. Kemudian membaca Ayat pada salah satu dua khutbah dan terakhir berdoa untuk kebaikan kaum muslimin pada rakaat ke dua. Dan tidak disunatkan untuk berdiri, jika dalam keadaan berdiri maka disunatkan duduk.

Saat memberi wasiat dan nasehat, bagi penceramah disunatkan untuk mengupas dan membahas masalah kurban, sebagaimana jika khutbah Idul Fitri disunatkan membahas masalah zakat fitrah. Khutbah yang pertama disunatkan untuk memulai dengan takbir sembilan kali dan khutbah yang kedua dimulai dengan tujuh kali. Dalam kitab Raudah, Imam Nawawi menjelaskan jika ada Nass dari Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa takbir tersebut bukan khutbah tetapi permulaan atau mukaddimah khutbah. Jika ada yang mengtakan bahwa takbir tersebut adalah khutbah, maka dihamalkan kepada demikian, karena sesuatu terkadang dimulai dengan sebagian mukaddimah, tetapi mukaddimah tersebut bukan bagian dari padanya.

Sunat-sunat Idul Adha
Selain salat berjamaah dan membaca khutbah, ada beberapa hal lain yang juga disuntakan berkaitan dengan salat idul Adha. Pertama mandi, dengan meniatkan mandi sunat idul Adha. Kesunahan mandi Idul Adha di mulai dari setengah yang ke dua dari pada malam, pada satu Qaul Imam Syafi’i kesunahan tersebut dimulai setelah fajar seperti mandi sunat untuk salat jum’at. Alasan pendapat pertama kenapa di mulai dari tengah malam, karena zaman dahulu orang pedalaman harus pergi jauh untuk melaksanakan salat Idul Adha, jika mereka tidak mandi sebelum fajar maka hal tersebut akan memberatkan mereka karena mereka harus berangkat jauh untuk salat berjamaah. Ini wajar mengingat jauhnya jarak yang harus di tempuh untuk salat ke masjid atau lapangan. Berbeda dengan sekarang yang sudah ditemukan banyak masjid dan musalla sehingga hal tersebut sudah bisa di atasi. Namun ini tetap tidak menggugurkan kesunahan mandi sebelum fajar di mulai dari tengah malam. Perbedaannya dengan mandi salat jumat adalah karena salat jumat dilambatkan dan salat Idul Adha di percepat. Bakan, ada yang mengatakan jika kesunahan mandi salat Idul Adha adalah keseluruhan malam. Kesunahan yang ke dua adalah memakai wangi-wangian dan berhias, dengan memakai pakaian terbaik dan paling bagus, menghilangkan bau yang tidak enak dengan parfum atau semacamnya dan memotong kuku. Kesunahan ini berlaku bagi orang yang hendak salat ke masjid atau yang salat di rumah sendirian. Ini berlaku bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan cantik dan punya fisik bagus hal ini di makruhkan. Adapun perempuan tua dan lemah disunatkan untuk hadir ke masjid atau lapangan dengan tidak memakai wangi-wangian, mereka cukup sekedar membersihkan diri dengan air dan memakai pakaian apa adanya tanpa menghias diri.

Sunat yang ketiga adalah saat akan berangkat dan dan kembali dari masjid atau lapangan hendaknya melalui jalan yang berbeda, yaitu perjalanan yang jaraknya lebih jauh saat berangkat dan melalui jalan pendek saat kembali pulang sebagaimana yang merawi oleh Imam Bukhari dari pada Jabir bahwa nabi saw melalui jalan yang berbeda saat hari raya. Ada beberapa alasan kenapa nabi saw melakukan demikian, dari semuanya alasan paling kuat kenapa nabi saw melakukan perjalanan pada jalan yang panjang dan kembali pada jalan yang lebih pendek adalah supaya banyak pahala. Ada yang mengatakan jika nabi saw melakukan demikian supaya bisa bersedekah kepada fakir miskin yang ada pada ke dua jalan tersebut. Ada juga yang mengatakan jika nabi saw melakukannya supaya ke dua jalan tersebut naik saksi dengan perjalanan nabi saw pergi dan kembali dari masjid. Dan disunatkan berjalan kaki dengan pelan-pelan bagi bukan Imam. Adapun Imam karena harus mempercepat supaya bisa dilaksanakan salat segera.

Sunat selanjutnya adalah menahan diri dari makan (imsak) sehingga selesai melakukan salat Idul Adha, berbeda jika Salat Idul Adha, maka disunatkan untuk makan sebelum melakukan salat Idul Fitri.

Tempat Pengerjaan Salat Idul Adha
Tempat mengerjakan salat idul Adha bagi yang bukan wanita cantik dan punya fisik yang bagus dan baik adalah masjid, karena masjid adalah tempat yang mulia, ada yang mengatakan jika tempat paling baik mengerjakan salat Idul Adha adalah lapangan, karena lebih luas sehingga muat kendaraan dan lainnya. Pengecualiannya, menurut pendapat pertama jika masjid sempit karena banyaknya jamaah sehingga berdesak-desakan yang berakibat kepada was-was, maka makruh mengerjakan salat di dalam masjid. Menurut ulama yang mengatakan lapangan lebih baik, pengecualiannya jika turun salju atau hujan maka makruh mengerjakan di lapangan. Dari semuanya, secara umum tempat yang paling baik mengerjakan salat Idul Adha berturut-turut adalah Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa dan masjid-masjid lain.

Keutamaan paling utama mengerjakan salat Ini adalah Allah ampuni segala dosa, karena itulah disyariaatkan Salat Idul Adha mengiringi Ibadah Haji yang sarat dengan keampunan, sebagaimana Disyariatkan Ibadah salat Idul Fiti setelah melakukan badah puasa sebulan penuh. Wallahua’lam.

Daftar Pustaka
1. Hasyiayah Al-Bajuri
2. Hasyiyah Ianatut Thalibin
3. Hasyiah Qulyubi wa Umairah
4. Fathul Jawad bi Syarhi Irsyad

Selasa, 06 September 2016

Download Pengajian MP3 kitab Shabban fil Mantiq (klik judul untuk baca selengkapnya)


Sebelumnya kami telah mengupload beberapa audio pengajian alat, diantaranya kitab Syarah Jauhar MaknunKitab Syamsiah Mantiq dan Kitab Shabban khusus pada Bab Qadhiyah  karangan Imam Abi 'Irfan Muhammad bin Ali ash-Shabban, yang semuanya di asuh oleh Waled Tarmizi al-Yusufi yang semasa muda beliau lebih dikenal dengan panggilan Tgk. Ar 


Kali ini kami akan membagikan audio pengajian kitab Hasyiah Shabban fi Mantiq yang juga di asuh oleh Waled Tarmizi M. Daud al-Yusufi, salah satu guru di Lpi Mudi Mesra yang saat ini juga telah mendirikan dayah LPINajmul Hidayah al-Aziziyah, di desa Cot Merak Blang, tidak jauh dari dayah MUDI Mesra.

Pengajian ini di mulai pada tanggal 15 agustus 2015 dan khatam pada tanggal 12 Mei 2016 waktu pengajian ba’da ashar pukul 17.00-18.00 wib setiap hari kecuali kamis dan jumat dan pada saat berhalangan. Jumlah pertemuan semuanya sebanyak 66 pertemuan. 

Namun mohon maaf, audio ini masih dalam bahasa daerah (Aceh) sehingga belum bisa di ambil manfaat oleh yang tidak mengerti bahasa Aceh. 

sebenarnya masih ada beberapa audio pengajian beliau seperti pengajian kitab Mustasfa karangan Imam Ghazali dan pengajian kitab Ghayah Wushulkarangan Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari, namun karena kualitas rekaman pada saat pengajian tersebut tidak bagus maka tidak kami upload di web kami.



Untuk kitab file pdf Hasyiah Shabban fil Mantiq bisa di download di SINI. Moga bermanfaat.

Sabtu, 20 Agustus 2016

Doa Setelah Sholat Dhuha



Salah satu amalan yang berfaedah memudahkan rizki adalah rutin melaksanakan shalat sunat dhuha. Tatacara dan kaifiyat sunat dhuha sudah kami terangkan dalam postingan kami sebelumnya. Dalam postingan tersebut, kami belum melampirkan doa yang di baca setelah shalat dhuha dan kami janjikan akan kami posting dalam kesempatan lain.
Maka untuk menyempurnakan tulisan tentang shalat dhuha tersebut, maka inilah salah satu doa yang bisa di amalkan setelahsunat dhuha


الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَسَلِّمْ
 يَا اللهُ يَا وَاحِدُ يَا اَحَدُ يَا وَاجِدُ يَا جَوَادُ , اِنْفَحْنَا مِنْكَ بِنَفْحَةِ خَيْرٍ x 3 
فِى كُلِّ لَحْظَةٍ اَبَدَا عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَى نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ


Kemudian di baca asmaul husna di bawah ini dengan mengangkat tangan :


يَا بَاسِط 10 x  


Kemudian mengepal kedua tangan dan membaca doa ini; 


اُبْسُطْ عَلَيْنَا الْخَيْرَ وَالرِّزْقَ وَوَفِّقْنَا ِلاِصَابَةِ الصَّوَابِ وَالْحَقِّ وَزَيِّنَّا بِاْلاِخْلاَصِ وَالصِّدْقِ وَاَعِذْنَا مِنْ شَرِّ الْخَلْقِ وَاخْتِمْ لَنَا بِالْحُسْنَى فِى لُطْفٍ وَعَافِيَّةٍ


Kemudian di lanjutkan dengan doa;



اللَّهُمَّ إنَّ الضَّحَاءَ ضَحَاؤُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُك، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُك، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُك، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُك
اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي وَاَحْبَابِى وَالْمُسْلِمِيْنَ اَبَدًا فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ، وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ وَإِنْ كَانَ قَلِيْلاً فكثره وَإِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ، وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ،
بِحَقِّ ضُحَائِك وَبَهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِكَ وَسُلْطَانِكَ وَعَظَمَتِكَ وَعِصْمَتِكَ
اللَّهُمَّ آتِنَا فِى كُلِّ حِيْنٍ اَفْضَلَ مَا آتَيْتَ اَوْ تُؤْتِى عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ مَعَ الْعَافِيَّةِ التَّامَّةِ فِى الدَّارَيْنِ
آمِيْنَ


Sumber:
Khulasah Fi Aurad wa ad’iyah waridah wa ma`tsurah, Habib Umar bin Salim bin Hafidh, hal 81

Syarat - Hak dan Adab Hamba dalam Berdoa


Syarat dan Hak untuk diterima doa:
1. Mengkonsumsi makanan dan memakai pakaian, yang halal.
2. Berdoa dengan yakin akan diterima Allah Swt.
3. Tidak lalai hati di saat berdoa
4. Tidak berdoa dengan sesuatu yang berdosa, memutuskan silaturahmi dan menggugurkan hak sesama Islam
5. Tidak berdoa dengan sesuatu yang mustahil

Adab –adab dalam berdoa:
1. Mencari waktu fadhilah seperti dalam sujud atau diantara Azan dan Iqamah.
2. Dalam keadaan Berwudhu’. 
3. Setelah melakukan Shalat.
4. Menghadap kiblat.
5. Mengangkat dua tangan ke langit, karena langit adalah kiblat doa.
6. Didahului dengan taubat kepada Allah swt.
7. Mengingat dan Tafakkur atas segala dosa-dosa.
8. Ikhlas.
9. Memuji Allah Swt dan Bershalawat kepada Baginda Nabi Saw pada permulaan, pertengan dan penutupan do’a.


Demikianlah Beberapa Syarat dan Adab dalam berdoa, di saat semuanya telah dipenuhi, maka seseorang hamba telah memenuhi hak dan kewajibannya dalam berdoa, diterima dan tidaknya, kembali kepada Allah Swt. Ditambah, tidak ada doa yang telah memenuhi syarat akan ditolak Allah Swt, karena Allah punya metode yang bermacam-macam dalam menerima doa, salah satunya adalah dengan diampuni segala dosa orang yang berdoa, maka marilah kita memperbanyak doa kepada-Nya! Wallahua’lam.


Sumber : Tuhfatul Murid Syarah Jauharah Tauhid hal. 97